“Kau datang tatkala sinar senja ku telah
redup
Dan pamit ketika purnamaku penuh
sepenuhnya”
Saya pernah bertemu seorang laki-laki yang selalu
tau kapan dia harus datang lalu seenaknya pergi.
Ia datang saat semua sedang
tenang, saat semua sedang senyap. Selalu saja berhasil mencuri satu tempat
untuk ia tinggali. Seberapa besar kau coba untuk mengacuhkan, ia selalu punya
cara untuk dapat perhatian. Selalu.
Kemudian saat kau mengulurkan tanganmu, ia akan
menarikmu lebih dalam. Mendekap seolah selamanya, mengecup seolah kau yang
terakhir. Yang kau tau hanya tulus, tapi ntah didalamnya. Ia selalu punya
mantra, lalu kau bertunduk.
Sekali lagi, ia selalu tau kapan untuk pergi. Kau tidak.
Ia akan pergi saat kau terlalu bergantung, saat
semua yang kau punya hanya dia dan yang dikira tulus. Hilang.
Tanpa pamit.
Ia selalu tau kapan harus pergi seenaknya. Selalu.
Kemudian semua hancur, kembali redup.
Tanpa pamit.
Ia selalu tau kapan harus pergi seenaknya. Selalu.
Kemudian semua hancur, kembali redup.
”Kau yang singgah tapi tak sungguh
Ku kira kau rumah
Nyatanya kau cuma aku sewa
Dari tubuh seorang perempuan
Yang memintamu untuk pulang”
Ku kira kau rumah
Nyatanya kau cuma aku sewa
Dari tubuh seorang perempuan
Yang memintamu untuk pulang”
Ia tau cara menjelma, kau kira rumah, ternyata tidak.
Ia pandai berpura-pura, kau kira tempat mu kembali, ternyata bukan.
Ia begitu meyakinkan, kau kira terakhir, ternyata kau orang sekian.
Ia hanya kau sewa, dari perempuan yang sama mengira ia adalah rumah.
Ia tau kapan harus datang lalu seenaknya pergi, ke hatimu, ke hati yang lain.
Selalu.
Ia pandai berpura-pura, kau kira tempat mu kembali, ternyata bukan.
Ia begitu meyakinkan, kau kira terakhir, ternyata kau orang sekian.
Ia hanya kau sewa, dari perempuan yang sama mengira ia adalah rumah.
Ia tau kapan harus datang lalu seenaknya pergi, ke hatimu, ke hati yang lain.
Selalu.
“Kau bukan rumah
Kau bukan rumah”
Ia bukan rumah.
Sekali lagi, ia bukan rumah.
Rumah tidak akan datang lalu seenaknya pergi.
Ia bukan rumah.
Sekali lagi, ia bukan rumah.
Rumah tidak akan datang lalu seenaknya pergi.
Rumah
adalah setia, tempat berlabuh, tempat kembali, tempat terakhir.
Ia bukan
rumah.
Jika
besok ia datang lagi, ingatkan aku dia bukan rumah
Aku
butuh rumah tempat aku menjadi debu, bukan persinggahan yang berabu !
0 komentar:
Posting Komentar