“Kau suka kopi ?”“Hah ? Nggak ah..”
“Ini kali ketiga kita duduk bersama sejak hari pertama keluar dari percakapan dunia maya, dan kau selalu memesan ice coffee. Ntah itu dengan latte atau mocca. Itu bukan pecinta kopi namanya ?”
“Oiya ? Ntah, mungkin aku cuma suka baunya. Damai. Tapi semenjak kapan ini jadi candu. Aku pun lupa.”
“Kau sedang berfilosofi tentang kopi ? Hahahahaha”
“Berfilosofi ? Absolutely no. Sampai sekarang aku belum pernah merasakan manis diujung pahit kopi pekat nya bapak yang aku curi satu sesapan sebelum pergi sekolah dulu”
“Ku pikir kau sedang berfilosofi, seperti orang yang mengaku-ngaku paling tau semua tentang kopi di dunia ini”
Ah, aku baru ingat semenjak kapan aku mengenal kopi. Bapak selalu punya waktu untuk memasak air satu gelas untuk kopi pahitnya, katanya kopi akan jadi lebih nikmat jika di seduh dengan air mendidih. Setiap pagi. Dan ibu selalu kesal dengan itu, buang-buang gas saja katanya.
Lalu ia akan seduh kopinya di gelas coklat panjang kesayangannya, diatas tatakan piring kecil pasangan gelas itu. Aku selalu hapal harum nya.
“Enak pak ?” Tanyaku pada saat ia menyesap kopinya, biasanya selagi aku memakai kaus kaki atau sepatu sebelum berangkat sekolah.
“Ya enak, kopi bapak kan selalu enak.”
“Kakak boleh coba tak ? Satu seruput saja”
“Jangan, ibu nanti marah kalo kamu ngga bisa tidur siang. Ayo cepat nanti telat, bapak tunggu di garasi”
Diam-diam aku seruput sedikit, pahit, tidak enak sama sekali. Setiap pagi. Kalau bapak hobi dengan air mendidih dan kopinya, aku hobi mencuri satu seruput kopi bapak, masih mencari letak ‘enak’ yang bapak maksud selama ini.
Sudah lama aku tidak mencuri satu seruput kopi bapak. Bapak dan kopinya, apalagi harum yang dari dulu aku suka itu sudah terlalu jauh. Sekarang alasan aku menyeruput kopi bukan lagi hanya untuk sekedar mencari letak ‘enak’ yang bapak maksud. Kopi jadi teman jika besok ada deadline tugas, atau ujian mendadak di kampus. Benar kata Ibu, kopi paling ampuh buat tidak bisa tidur siang. Satu lagi, yang harus ibu tau, kopi selalu buat jantung kakak berdegup kencang, mata merah perih dan kepala pusing, setelah itu akan ada banyak mimpi buruk jika memaksa tidur.
Sampai sekarang, belum juga aku menemukan letak ‘enak’ di secangkir kopi. Tapi aku suka. Aku akan lebih sering menebak ‘kali ini apa aku temukan kopi enak yang dimaksud bapak ?’ disetiap kopi yang aku pesan. Satu lagi, aku selalu suka aroma uap secangkir kopi, damai, seperti di pangkuan bapak, hangat, seperti memeluk perut buncit bapak dari belakang saat diantar ke sekolah dengan motor.
“Aku tau tempat ngopi paling asik, kau pasti akan suka”
“Dimana ?”
“Rahasia, kau harus datang kesana dengan ku. Aku juga ingin tau kopi ‘enak’ yang di maksud bapak jika kau temukan disana”
“Hmmm... boleh”
“Satu lagi, boleh aku jadi partner pencarian kopi ‘enak’ mu ? Setidaknya, jika belum kau temukan, kau bisa berbagi cerita di sela-sela seruputan kopi mu dengan ku”
“Ehh.. partner ?”
“Sebut saja partner, atau kau mau sebut teman hidup ?”
“Oke, pilihan pertama, partner ! Hahaha”
The Coffee Crowd, Jan’18
Malam, Hujan-